Taksi Terbang Mulai Mengudara di Indonesia
Uji coba taksi terbang berpenumpang pertama di Indonesia sukses dilakukan di PIK 2, menandai babak baru transportasi masa depan yang kini bukan lagi sekadar wacana.

Langit Indonesia resmi menjadi jalur baru transportasi. Pada 25 Juni lalu, taksi terbang otonom EHang 216-S sukses melakukan uji coba berpenumpang di Phantom Ground Park, PIK 2, Tangerang. Uji coba ini menjadi tonggak sejarah karena untuk pertama kalinya kendaraan udara tanpa pilot membawa penumpang di ruang udara Indonesia secara legal.
EHang 216-S, yang dikembangkan oleh perusahaan teknologi asal Tiongkok, merupakan kendaraan udara otonom berbasis listrik yang dikendalikan dari pusat komando melalui jaringan 4G/5G. Dengan kapasitas dua penumpang, kendaraan ini mampu menempuh jarak hingga 30 kilometer dalam satu kali pengisian daya, dengan kecepatan maksimum 130 km/jam.
Kendaraan ini berbentuk seperti drone raksasa dengan 16 baling-baling, dikendalikan secara otonom tanpa pilot manusia, dan mampu mengangkut dua penumpang sejauh 30–35 km dalam satu kali pengisian dayaDurasi terbangnya berkisar antara 18 hingga 25 menit, menjadikannya solusi cepat dan efisien untuk mobilitas perkotaan.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Lukman F. Laisa, menyatakan bahwa uji coba ini merupakan bagian dari pendekatan eksperimental yang dikawal ketat oleh regulator. “Kami melakukan evaluasi berbasis manajemen risiko dengan mitigasi menyeluruh untuk menjamin keselamatan. Ini bukan sekadar demo, tapi bagian dari proses pembelajaran teknologi dan kesiapan operator,” ujarnya dalam siaran pers resmi.
Tak hanya EHang, Indonesia juga tengah mengembangkan ekosistem Urban Air Mobility (UAM) yang lebih luas. Hyundai, melalui unit Advanced Air Mobility-nya, telah menguji coba kendaraan udara OPPAV di Bandara APT Pranoto, Samarinda, sebagai bagian dari rencana transportasi masa depan di Ibu Kota Nusantara (IKN).
Menurut Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D., Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, pengembangan taksi terbang di Indonesia mencakup tiga aspek utama: teknologi, regulasi, dan infrastruktur. “Pemerintah harus memastikan bahwa pengoperasian taksi terbang ini dapat diakses secara inklusif oleh masyarakat luas, bukan hanya kalangan tertentu,” jelasnya dalam webinar nasional bertajuk Langit Sebagai Jalan Raya Baru.
Meski menjanjikan, pengembangan taksi terbang di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah penyediaan vertiport—landasan vertikal untuk lepas landas dan mendarat—di kawasan urban yang padat. Selain itu, regulasi keselamatan penerbangan dan integrasi dengan sistem transportasi darat juga menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.
Namun, para ahli optimistis. Prof. Dr. Ir. Gesang Nugroho, S.T., M.T., IPM, dari Fakultas Teknik UGM, menyebut taksi terbang sebagai bagian dari revolusi transportasi yang tak terelakkan. “Teknologi ini bukan hanya solusi kemacetan, tapi juga membuka akses ke wilayah terpencil dan mendukung pengembangan wilayah seperti IKN,” ujarnya.
Dengan biaya operasional yang diperkirakan hanya sekitar Rp500 ribu per penerbangan—jauh lebih murah dibandingkan helikopter—taksi terbang berpotensi menjadi moda transportasi baru yang inklusif dan efisien. Jika semua berjalan sesuai rencana, Indonesia bisa menjadi salah satu negara pertama di Asia Tenggara yang mengoperasikan layanan taksi terbang secara komersial.
Langit bukan lagi batas, tapi jalur baru. Dan Indonesia baru saja lepas landas.